Rabu, 26 Oktober 2016






Jangan Lupa Bahagia
Demikian kalimat yang saya baca di sebuah media sosial di suatu pagi dalam perjalanan ke Kampus FIB Universitas Diponegoro Semarang. Beberapa jam sebelum itu, saya menyantap sarapan rohani dengan sebuah pesan agar saya berbahagia dalam memaafkan mereka yang berbuat jahat dan mengecewakan saya. Bahkan dalam sarapan itu ditegaskan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah memaafkan yang jahat itu dan mengikhlaskan segala yang telah terjadi.

Latihan
Di hari tanggal 3 Oktober 2016, saya menyambut pagi dengan rasa gembira dan senang. Saya tak tahu apakah senang itu berbahagia. Tetapi, setelah membaca kalimat di media sosial itu tepatnya di Instagram, saya mulai bertanya, apakah selama ini saya lupa berbahagia?
Anehnya, waktu saya sedang menyantap sarapan rohani, pesan dalam santapan itu sama sekali tak mengusik kepala. Mungkin karena pesan itu seperti absurd, sesuatu yang seperti memimpikan bisa terbang seperti burung. Jadi karena terlalu absurd, saya jadi tak terusik.
Sementara kalimat perintah di media sosial yang saya baca itu sungguh dekat dengan keseharian sebagai manusia. Jangan lupa sarapan, jangan lupa olahraga, jangan lupa bayar utang, jangan lupa telepon yayang. Maka, karena dekat dengan keseharian, kalimat di media sosial itu jadi seperti seseorang yang sedang mengingatkan saya untuk tidak lupa minum obat.
Pernahkah saya lupa berbahagia? Apakah berbahagia itu sesuatu yang harus dijadwalkan dan dimasukkan ke dalam agenda? Seperti jangan sampai lupa bayar pajak, utang, kartu kredit, sampai termasuk jangan lupa mengucapkan selamat ulang tahun atau berdukacita. Jangan sampai lupa periksa kehamilan dan seterusnya.
Apakah agar tidak lupa berbahagia, harus dilatih? Seperti melatih membiasakan sikat gigi sehabis makan. Latihan membesarkan otot-otot lengan sehingga kalau sering latihan lama-lama tidak akan lupa.
Beberapa dosen saya yang sudah di atas 55 tahun selalu mengisi teka-teki silang. Tujuannya hanya satu, supaya tidak lupa. "Selain olahraga, harus olah otak juga," kata salah satu dari mereka. Bagaimana kalau seandainya saya lama-lama lupa berbahagia karena satu hal?
Seperti obat yang saya konsumsi selama bertahun lamanya yang memberi dua efek samping. Kalau tidak depresi ya menjadi lupa. Teman-teman saya selalu berharap jangan sampai saya depresi.
Tujuan Hidup
"Elo itu kagak depresi aja idupelo uda kayak drama. Gimana kalau depresi?Ngebayang kayak cerita drama yang tak akan ada tamatnya." Untuk mereka, lebih baik kalau saya ini lupa. "Jadi kalau kita lupa jemput kamu, kamu gak bawel dan marah-marah karena lupa kalau kamu punya janjian untuk berjumpa."
Apakah saya bisa lupa untuk menjadi orang yang berbahagia hanya karena sejuta problem berseliweran di hadapan mata? Problem yang sudah mirip obat berefek samping bisa membuat saya menjadi lupa untuk berbahagia dan bisa jadi lupa bahagia itu apa. Apakah mungkin?
Acap kali problem menghantam di perjalanan hidup. Dan, hantamannya acap kali juga tidak tanggung-tanggung, bahkan berjalan sekian tahun lamanya. Sampai kesengsaraan itu telah menjadi bagian hidup sehingga lupa menjadi bahagia. Kemudian saya berhenti sampai di sini, dan terbersitlah sebuah pemikiran.
Apakah kesengsaraan yang bertubi-tubi bisa membuat kebal, dan karena kebal alias imun, maka saya bisa berbahagia karena tak ada lagi kesengsaraan yang bisa dirasakan? Maka, saya berpikir apakah kebahagiaan itu sejatinya adalah kematian saya terhadap kesengsaraan, terhadap hantaman kehidupan yang bertubi-tubi?
Sama seperti salah satu klien saya yang bercerita saat ia membantu membersihkan tumpukan sampah yang menggunung. Awalnya aromanya sangat menyengat, tetapi tak lama kemudian ia tak lagi bisa merasakan aroma menyengat itu. Itu sebabnya move on dari setiap perkara yang menyesakkan dada hanya bisa terjadi ketika saya mati bersama yang menyesakkan dada itu terlebih dahulu.
Saya tiba di kampus setelah taksi kebablasan melewati beberapa Fakultas karena keasyikan melamun. Kemudian saya menanyai beberapa teman yang sedang asyik mengobrol. Tiga orang mengaku pernah lupa berbahagia karena rutinitas dalam menjalani hidup. Dua orang tak pernah lupa bahagia.
Saya menanyakan alasannya mengapa salah satunya sampai tak lupa. "Bahagia itu tujuan hidup saya.  Jadi saya tak mungkin lupa menjadi bahagia apa pun keadaannya. Saya ingin tujuan itu tercapai." Saya seperti disetrum mendengar alasan itu. Selama ini saya tak pernah berpikir untuk menjadikan bahagia sebagai tujuan hidup.








Masih Di Bawah Umur
Seminggu yang lalu, tepatnya pada akhir pekan, saya tidak sengaja melihat video di Youtube yang memutar lagu anak. Sayangnya, lagu-lagu anak yang tidak sesuai pada tempatnya ini dapat di dengar bebas berjuta anak Indonesia. Lagu anak di zaman modern cenderung bertema tentang cinta. Berbeda dengan lagu- lagu anak pada tahun 90-an yang memiliki nilai pendidikan dan nilai positif. Anak- anak sekarang cenderung mendengarkan lagu cinta atau lagu-lagu yang seharusnya ditujukan untuk orang dewasa.
Save lagu anak                                                                     
Hari ini saya akan menceritakan lagu-lagu anak yang saya dengar itu, tetapi lebih kepada bagaimana pikiran saya terusik melihat anak kecil menyanyikan dan mendengarkan  lagu yang tidak layak untuk mereka dengar dan nyanyikan.
Banyak sekali lagu-lagu bertemakan cinta yang dinikmati oleh anak kecil. Biasanya lagu tersebut bergendre pop, dangdut, bahkan rock. Terkadang mereka tidak hanya menyukai lagunya, namun juga penyanyinya, bahkan sebagian suka dengan goyangan khasnya (jika bergenre dangdut). Hal tersebut membuat saya heran, mengapa lagu anak zaman sekarang kurang layak dan kurang mendidik. Indonesia sudah krisis lagu anak yang mendidik. Lagu-lagu anak dengan lirik positif seperti lagu anak zaman dahulu telah lenyap. Kini  berganti dengan lagu anak-anak yang menyanyikan lagu dewasa yang miris dengan lirik yang jauh dari usia anak-anak.
Seperti salah satu lagu yang saya lihat di media social yang berjudul “Lelaki Kardus” yang dinyanyikan anak perempuan bernama Nova Rizqi Romadhon. Lagu Nova ini diupload di situs berbagi video YouTube. Komentar netizen pun beragam. Ada yang mengecam, marah ada juga yang tertawa sekaligus iba melihat Nova. Karena lagu yang dinyanyikannya menceritakan tentang seorang bapak yang selingkuh dan meninggalkan istri serta anaknya. Berikut adalah penggalan lirik lagu “Lelaki Kardus”;

“ Bapakku kawin lagi, aku ditinggalin, ibuku diduain. Ibuku minta cerai tapi dipukulin ,” Itulah isi sebagian lirik awal dari lagu Nova. Bukan hanya itu, lagu bergenre dangdut itu berisi cacian sang anak pada ayahnya yang jelas-jelas tak mendidik. Tidak hanya Nova dalam video klip sederhana itu.

Ada juga beberapa bocah yang menjadi back vocalnya dan sama-sama mengumpat dan mencaci dalam lagu itu.
“ Lelaki kardus, lelaki mencret, lelaki kencrot, lelaki bangkrut, lelaki bangsat ,” terdengar senandung lagu para bocah di dalam lagu itu. Lagu anak ini terkesan sarkasme dan langsung dilihat oleh sekitar 12 ribu viewer .
Musnah sudah lagu anak yang menggemaskan dan mendidik berganti tema galau dan percintaan. Lagu tersebut menurut saya mengajarkan tentang kemarahan dan ucapan kasar yang seharusnya tidak pantas didengar anak-anak.
Hal tersebut membuat saya tidak mengerti, saya pun melampiaskannya ke media social. Saya menulis, apa sebaiknya ada acara khusus yang memutar ulang lagu-lagu anak tahun 90an, atau lagu-lagu anak yang mendidik, agar anak dapat menyanyikan lagu tersebut dan mendengarkannya. Atau sebaiknya, lagu-lagu anak yang tidak layak dipublikasikan harus ditarik peredarannya. Kemana, lagu-lagu anak yang dapat memberi motivasi?
Seorang berespons dengan apa yang saya curhatkan di media sosial itu. Ia mengatakan, Diperlukan upaya untuk merubah keadaan ini. Peran Komisi Penyiaran diperlukan untuk membatasi lagu-lagu anak yang kurang mendidik.
 Kita semua harus lebih proaktif dalam menjaga anak-anak kita. Karena, mereka adalah generasi penerus bangsa. Kita seharusnya melestarikan lagu anak yang pantas untuk mereka, dan isinya yang mendidik. Kepada para pencipta lagu anak, ayo, tunjukkan kreasi anda untuk anak-anak kita, jangan mau kalah dengan lagu-lagu sekarang.
Rumah dengan Cinta
Maka, saya mulai bergumul dalam pertanyaan. Apa yang seharusnya kita lakukan?
Dalam kasus ini, kita harus sepakat bahwa remaja serta orang dewasa adalah berbeda dari anak-anak. Dari sikap, maupun pola pikirnya. Menurut penelitian, dalam otak anak kecil (umur 1-6 tahun) kemampuan menyerap segala informasi itu masih sangat tinggi, artinya, jika ada informasi baru, maka otak akan segera menangkap dan menyimpannya di memori si anak. Apa akibatnya jika yang tersimpan di memori anak kecil tadi adalah hal-hal seperti lagu-lagu percintaan dan tidak mendidik? Yang seharusnya tak mereka dengar dan simpan di memori? Akan jadi apa bangsa kita ini dimasa depan?
Bagaimana kalau di kemudian hari si anak menjadi remaja yang mulutnya berkata kasar, serta  perilaku yang tak senonohnya direkam dan diunggah ke media sosial?
Apakah orangtua kaget setengah mati mendengar anak remajanya seperti itu, tetapi lupa bahwa mereka memiliki andil terhadap lagu-lagu anak yang diputar di masanya ?
Kepada para orang tua, ajarkan kepada anak-anak hal apa yang boleh dan tidak boleh mereka dengar dan nyanyikan, serta tanamkan juga nilai-nilai agama kepada mereka sejak kecil, agar di masa depan kelak, anak-anak kita menjadi seorang pemimpin yang tangguh dan berwibawa untuk membawa bangsa kita menuju masa depan yang lebih cerah. Semoga.






Romantika Yes Or No
Beberapa minggu yang lalu, saya sempat melihat sebuah film yang sangat menarik untuk dinikmati, mengandung banyak informsi seputar kisah cinta remaja di Thailand. Film tersebut tergolong film dewasa, untuk itu film ini tidak tayang di layar bioskop indonesia. Aku sendiri melihat film berjudul Yes Or No bersama sahabatku melalui situs ternama Youtube.
Yes or No merupakan sebuah judul film Thailand yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berarti Ya atau Tidak. Film ini dimulai dengan menceritakan seorang cewek cantik bernama Pie yang baru pindah dan mengharuskan ia tinggal di asrama putri. Hal itu merupakan salah satu peraturan yang dibuat sekolah untuk setiap siswanya. Kebetulan Pie mendapatkan kamar dengan seorang cewek bernama Kim, seorang cewek yang berpenampilan mirip seorang laki-laki. Jika di Indonesia kita mengenalnya dengan sebutan cewek tomboi, tetapi di Thailand disebut “Tom” yang memiliki arti kurang lebih sama dengan cewek tomboi atau seorang perempuan yang bergaya seperti lakil-laki. Pertama kali melihat Kim berada di kamarnya, jelas sekali Pie sangat kaget terlebih lagi melihat penampilan Kim yang mirip laki-laki dan memeluknya secara tiba-tiba karena insiden kecoa. Pie sendiri pada waktu itu hanya mengenakan handuk karena ia baru saja selesai mandi.
“hei, apa-apaan kamu, beraninya memelukku,” kata Pie dengan nada kesal
“maaf, tadi ada kecoa, aku sangat takut.” Jawab Kim
“hahaha, orang sepertimu takut kecoa? Tidak masuk akal,” ledek Pie.
Ketika melihat Kim dan menilai kepribadiaannya, Pie langsung berasumsi dia “Tom” meskipun Kim sendiri bersikeras menjelaskan jika dia adalah seorang cewek tulen. Tetapi Pie tidak pernah menganggap Kim sebagai seorang cewek karena dari tingkah laku, penampilan, dan gaya bicaranya sudah sangat mirip cowok.
Setiap hari mereka bertingkah seperti kucing dan tikus, tidak pernah berdamai, selalu saja ada hal sepele yang dipermasalahkan. Sampai suatu ketika kedekatan mereka diawali saat Kim berinisiatif memasakkan makanan untuk Pie. Awalnya Pie tidak mau dan enggan untuk mencoba, namun setelah dimakan, ternyata rasa masakan Kim sangat enak dan Pie menyukainya. Mereka mulai saling mengobrol banyak hingga hobi masing-masing, mereka terlibat dalam percakapan yang sangat menyenangkan. Pie pada awalnya tidak menyukai “Tom” dan hanya menganggapnya sebagai seorang teman.  Namun kedekatannya dengan Kim, semakin hari membuat Pie jatuh cinta, cinta yang terlarang.
Kim sesungguhnya memendam rasa untuk Pie, dan cemburu sewaktu Pie dijemput pria bernama P’van, yang berteman dengan Pie sejak kecil. Pie sendiri meskipun mengaku benci dengan Kim nyatanya juga menunjukkan gelagat cemburu saat Kim didekati Jane yang dari awal sudah menyukai Kim.
Suatu hari Kim mengirim sebuah memo untuk Pie, yang berisi penggalan kalimat untuk mengajak Pie keluar makan malam.
“Pie, aku tunggu kamu di taman, malam ini pukul 7, Yes or No?”
Begitulah isi memo yang dikirim Kim untuk Pie. Tentu saja Pie senang mendapat surat itu, dan langsung membalasnya dengan kata YES. Akhirnya mereka bertemu malam itu.
Tanpa sadar Kim dan Pie memendam perasaan yang sama, yaitu perasaan cinta terlarang sesama cewek.  Suatu hari mereka saling mengungkapkan perasaannya.  Kisah cinta mereka berjalan tidak seperti pasangan pada umumnya, karena seharusnya seorang wanita mencintai seoran laki-laki. Tentunya banyak sekali yang menentang hubungan mereka. Termasuk Ibu Pie yang merasa tidak nyaman dengan hubungan anaknya.
Seiring berjalannya waktu Ibu Pie dapat menerima hubungan percintaan sesama jenis yang dijalani anaknya. Tentu saja, di Thailand memang banyak sekali pasagan sesama jenis. Bahkan hubungan sesama jenis di legalkan dan dianggap biasa, namun tidak mendapat perlindungan hukum yang sama seperti pasangan berbeda jenis.
Dari film tersebut dapat dilihat jika budaya percintaan di Thailand berbeda jauh dengan budaya percintaan di Indonesia.  Jika seorang wanita berpenampilan seperti layaknya pria, dianggap sangat biasa. Hubungan percintaan sesama jenis juga dianggap wajar oleh masyarakat Thailand. Berbeda jika hal tersebut terjadi di Indonesia, pasti sudah mendapat tentangan keras, ejekan, dan makian.
Tidak ada yang disalahkan dalam hal ini, terkadang cinta memang dapat mebutakan segalanya, menjadikn yang salah menjadi benar atau sebaliknya.