Jangan
Lupa Bahagia
Demikian kalimat yang saya baca di sebuah media
sosial di suatu pagi dalam perjalanan ke Kampus
FIB Universitas Diponegoro Semarang. Beberapa jam sebelum itu, saya menyantap
sarapan rohani dengan sebuah pesan agar saya berbahagia dalam memaafkan mereka
yang berbuat jahat dan mengecewakan saya. Bahkan dalam sarapan
itu ditegaskan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah memaafkan yang jahat itu
dan mengikhlaskan segala yang telah terjadi.
Latihan
Di hari tanggal 3 Oktober 2016, saya menyambut pagi
dengan rasa gembira dan senang. Saya tak tahu apakah
senang itu berbahagia. Tetapi, setelah membaca kalimat di media sosial itu
tepatnya di Instagram, saya mulai bertanya, apakah selama ini saya lupa berbahagia?
Anehnya, waktu saya sedang menyantap sarapan
rohani, pesan dalam santapan itu sama sekali tak mengusik kepala. Mungkin
karena pesan itu seperti absurd, sesuatu yang seperti memimpikan bisa terbang
seperti burung. Jadi karena terlalu absurd, saya jadi tak terusik.
Sementara kalimat
perintah di media sosial yang saya baca itu sungguh dekat dengan keseharian
sebagai manusia. Jangan lupa sarapan, jangan lupa olahraga, jangan lupa bayar
utang, jangan lupa telepon yayang. Maka, karena
dekat dengan keseharian, kalimat di media sosial itu jadi seperti seseorang
yang sedang mengingatkan saya untuk tidak lupa minum obat.
Pernahkah saya lupa berbahagia? Apakah
berbahagia itu sesuatu yang harus dijadwalkan dan dimasukkan ke dalam agenda?
Seperti jangan sampai lupa bayar pajak, utang, kartu kredit, sampai termasuk
jangan lupa mengucapkan selamat ulang tahun atau berdukacita. Jangan sampai
lupa periksa kehamilan dan seterusnya.
Apakah agar tidak lupa berbahagia, harus
dilatih? Seperti melatih membiasakan sikat gigi sehabis makan. Latihan
membesarkan otot-otot lengan sehingga kalau sering latihan lama-lama tidak akan
lupa.
Beberapa dosen saya yang sudah di atas 55
tahun selalu mengisi teka-teki silang. Tujuannya hanya satu, supaya tidak lupa.
"Selain olahraga, harus olah otak juga," kata salah satu dari mereka.
Bagaimana kalau seandainya saya lama-lama lupa berbahagia karena satu hal?
Seperti obat yang saya konsumsi selama bertahun
lamanya yang memberi dua efek samping. Kalau tidak depresi ya menjadi lupa. Teman-teman
saya selalu berharap jangan sampai saya depresi.
Tujuan Hidup
"Elo itu kagak depresi aja idupelo uda kayak drama. Gimana kalau depresi?Ngebayang kayak cerita
drama yang tak akan ada tamatnya." Untuk mereka, lebih baik kalau saya ini
lupa. "Jadi kalau kita lupa jemput kamu, kamu gak bawel dan marah-marah karena lupa kalau kamu
punya janjian untuk berjumpa."
Apakah saya bisa lupa untuk menjadi orang yang
berbahagia hanya karena sejuta problem berseliweran di hadapan mata? Problem
yang sudah mirip obat berefek samping bisa membuat saya menjadi lupa untuk
berbahagia dan bisa jadi lupa bahagia itu apa. Apakah mungkin?
Acap kali problem menghantam di perjalanan
hidup. Dan, hantamannya acap kali juga tidak tanggung-tanggung, bahkan berjalan
sekian tahun lamanya. Sampai kesengsaraan itu telah menjadi bagian hidup
sehingga lupa menjadi bahagia. Kemudian saya berhenti sampai di sini, dan
terbersitlah sebuah pemikiran.
Apakah kesengsaraan yang bertubi-tubi bisa
membuat kebal, dan karena kebal alias imun, maka saya bisa berbahagia karena
tak ada lagi kesengsaraan yang bisa dirasakan? Maka, saya berpikir apakah
kebahagiaan itu sejatinya adalah kematian saya terhadap kesengsaraan, terhadap
hantaman kehidupan yang bertubi-tubi?
Sama seperti salah satu
klien saya yang bercerita saat ia membantu membersihkan tumpukan sampah yang
menggunung. Awalnya aromanya sangat menyengat, tetapi tak lama kemudian ia tak
lagi bisa merasakan aroma menyengat itu. Itu sebabnya move on dari setiap perkara yang menyesakkan dada
hanya bisa terjadi ketika saya mati bersama yang menyesakkan dada itu terlebih
dahulu.
Saya tiba di kampus setelah taksi kebablasan
melewati beberapa Fakultas karena keasyikan
melamun. Kemudian saya menanyai beberapa teman yang sedang asyik
mengobrol. Tiga
orang mengaku pernah lupa berbahagia karena rutinitas dalam menjalani hidup.
Dua orang tak pernah lupa bahagia.
Saya menanyakan alasannya mengapa salah satunya
sampai tak lupa. "Bahagia itu tujuan hidup saya. Jadi saya tak mungkin lupa menjadi bahagia apa
pun keadaannya. Saya ingin tujuan itu tercapai." Saya seperti disetrum
mendengar alasan itu. Selama ini saya tak pernah berpikir untuk menjadikan
bahagia sebagai tujuan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar